Sunday, June 7, 2009

Hukum Suami Tidak Menafkahkan Isteri

0


by Umi MyNona on Monday, June 7, 2010 at 4:30am
Sebagaimana telah difahami bahwa kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah kepada keluarganya.

Islam menganggap dosa besar bagi seorang suami yang mengabaikan kewajiban ini, sebagaimana disebutkan didalam riwayat Abu Daud dari Abdullah bin 'Amr, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya." Didalam sabdanya saw yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan : "Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa orang-orang yang menahan makan (upah dan sebagainya) orang yang menjadi tanggungannya."

Islam tidaklah menuntut besar kecilnya penghasilan atau rezeki yang didapat seseorang akan tetapi yang dituntut darinya hanyalah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mendapatkan rezekinya itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori dari Az Zubair bin Al 'Awam dari Nabi saw bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu dia mencari seikat kayu bakar dan dibawa dengan punggungnya kemudian dia menjualnya lalu Allah mencukupkannya dengan kayu itu lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada manusia, baik manusia itu memberinya atau menolaknya".
sumber : www.eramuslim.com

Umar bin Khottob pernah mengatakan,”Tidak sepantasnya seorang dari kalian hanya duduk-duduk saja tidak mencari rezeki dan hanya berdoa,’Wahai Allah berikanlah aku rezeki.’ Bukankah kalian telah mengetahui bahwa langit tidak akan menurunkan emas dan perak.”

Adapun besaran dari nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada istri dan anak-anaknya tergantung kepada kemampuan si suami. Semakin tinggi kelas ekonominya maka ia harus semakin memberikan kelayakan hidup bagi keluarganya dan sebaliknya ketika suami memiliki tingkat ekonomi yang rendah maka si istri juga harus bisa memahaminya tanpa harus menuntutnya dengan sesuatu yang diluar batas kemampuan dan kesanggupannya.

Kewajiban memberikan nafkah ini tidaklah hilang dari diri seorang suami walaupun istrinya seorang yang kaya raya atau memiliki penghasilan sendiri. Tidak ada salahnya bagi seorang istri untuk mengingatkan suaminya akan kewajiban ini terlebih jika tampak adanya pengabaian terhadap kewajiban ini didalam dirinya.

Dan jika seorang suami tetap mengabaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada keluarganya sehingga si istri harus menafkahi sendiri kebutuhan diri dan keluarganya dengan hartanya maka biaya yang dikeluarkannya selama itu menjadi utang yang harus dibayar oleh suaminya. Suami tetap diwajibkan membayar utang tersebut walaupun hal itu terjadi selama bertahun-tahun lamanya selama si istri belum merelakannya.

Pengabaian ini juga menjadikan si istri memiliki hak meminta kepada hakim agar memaksa suaminya untuk memenuhi kebutuhannya atau agar memisahkan mereka berdua dari tali perkawinan.

Didalam kitab ”al Mausu’ah” disebutkan bahwa para fuqaha telah bersepakat kewajiban memberikan nafkah istri ada pada suaminya dikarenakan akad sah (perkawinannya)... Jika seorang suami tidak menunaikan kewajiban ini tanpa adanya penghalang yang berasal dari istrinya maka si istri memiliki hak untuk meminta nafkahnya tersebut melalui hakim sehingga si hakim mengambil dari suaminya secara paksa. Akan tetapi jika si suami tidak memberikan nafkahnya dikarenakan adanya penghalang dari istrinya, seperti : nusyuz (Istri yang Menampar Suami) maka dirinya tidak bisa dipaksa untuk mengeluarkan nafkahnya itu.

Lalu apakah bisa seorang istri memiliki hak menuntut pisah dari suaminya jika dia menahan tidak memberikan nafkahnya tanpa adanya sebab ?

Pada fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini dalam beberapa keadaan namun mereka bersepakat didalam beberapa keadaan yang lain, sebagai berikut :

1. Jika si suami yang menahan dari memberikan nafkahnya itu memiliki harta yang tampak maka dibolehkan bagi istrinya untuk mengambil nafkahnya itu dari suaminya baik dengan sepengetahuan si suami atau tidak, baik dilakukannya sendiri atau melalui seorang hakim. Dan dalam hal ini tidak ada bagi istrinya hak untuk menuntut pisah karena dimungkinkan baginya untuk mendapatkan nafkahnya itu tanpa perlu adanya pemisahan.

Dalam hal ini, sama saja baik si suami berada di negerinya atau tidak, baik harta suaminya itu ada dihadapannya atau tidak, baik hartanya itu berupa uang atau alat transportasi atau perkebunan yang dimungkinkan untuk diambil darinya.

Sedangkan pendapat yang paling masyhur dari dua pendapat Syafi’i adalah bahwa jika harta si suami yang tampak itu ada dihadapannya maka tidak diperbolehkan pemisahan (suami-istri). Akan tetapi jika harta itu berada jauh darinya sejauh jarak qashar shalat maka dibolehkan bagi si istri untuk menuntut pisah. Jika keadaannya tidak seperti demikian maka urusannya diserahkan kepada hakim untuk mendatangkan harta itu dan tidak ada hak istri menuntut pemisahan.

Jika keadaannya tidaklah diketahui apakah dirinya dalam keadaan kaya atau susah maka tidak ada pemisahan karena sebab (untuk pemisahan) tidaklah terwujud.

2. Apabila seorang suami yang menahan nafkahnya tidaklah memiliki harta yang tampak baik dikarenakan kesulitannya (miskin) atau tidak diketahui keberadaan hartanya itu atau dikarenakan suaminya itu menghilangkan hartanya maka si istri mengangkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pisah dari suaminya itu dikarenakan sebab-sebab diatas. Meski terjadi perselisihan dikalangan fuqaha tentang pembolehan pemisahan ini menjadi dua pendapat : para ulama Hanafi tidak membolehkannya... sementara para ulama Maliki dan Hambali memberikan kepadanya pilihan : tetap mempertahankan ikatan suami istri dan menjadikan pembiayaan nafkahnya sebagai utang atas suaminya atau mengangkat permasalahan ini kepada hakim untuk menuntut pemisahan pernikahannya... (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 10346 – 10347)

Dan pendapat yang kuat adalah bahwa seorang istri yang tidak mendapatkan nafkah dari suaminya memiliki hak untuk menuntut pemisahan dirinya dari suaminya dikarenakan kuatnya dalil-dalil yang menunjukkan hal itu, sebagaimana dikatakan jumhur fuqaha.

فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ


Artinya : ”Menggenggam (istri) dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al Baqoroh : 229)

Pada ayat diatas Allah memberikan dua pilihan kepada seorang suami antara menggenggam dengan cara yang ma’ruf yaitu memberikan nafkah kepadanya atau menceraikannya dengan cara yang baik pula jika dirinya tidak bisa memberikan nafkah kepadanya.

Saturday, January 17, 2009

Hukum Isteri Yang Menampar Suaminya

0
Diantara kewajiban seorang istri kepada suaminya adalah menaatinya didalam perkara-perkara yang tidak mengandung kemaksiatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah swt :

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً


Artinya : “jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisaa : 34)

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”…Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang lainnya pastilah aku perintahkan para istri untuk bersujud kepada para suaminya dikarenakan hak yang diberikan Allah kepada para suami itu terhadap para istrinya.”

Didalam kitab “ash Shahihain” disebutkan dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu dia menolak ajakannya itu kemudian suaminya bermalam dalam keadaan marah terhadapnya maka para malaikat akan melaknatnya hingga pagi hari.”

Adapun ganjaran bagi seorang istri ang menaati suaminya didalam perkara-perkara yang bukan maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah surga Allah swt, sebagaimana disebutkan didalam shahih Ibnu Hibban dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan (Ramadhan), memelihara kemaluanya dan menaati suaminya maka akan masuk surga dari pintu surga mana saja yang dikehendakinya.”

Demikianlah ketinggian kedudukan sebuah ketaatan seorang istri kepada suaminya di sisi Allah swt. Sebaliknya diharamkan bagi seorang istri maksiat dan tidak menaatinya didalam perkara-perkara yang tidak mengandung kemaksiatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, yang didalam istilah agama disebut dengan nusyuz.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّهُ وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ


Artina : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. An Nisaa : 34)

Tentang firman Allah swt :

وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ


Artinya : “Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya.” (QS. An Nisaa : 34)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa nusyuz berarti tinggi sedangkan wanita yang nasyiz (berbuat nusyuz) adalah wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, mengabaikan perintahnya, berpaling darinya, murka terhadapnya. Dan setiap kali tampak oleh seorang suami tanda-tanda nusyuz pada diri istrinya maka hendaklah dia menasehatinya, mengancamnya dengan siksa Allah karena maksiat terhadapnya. Sesungguhnya Allah swt telah menjadikan hak seorang suami adalah ditaati oleh istrinya dan haram bagi seorang istri maksiat terhadapnya dikarenakan kelebihannya terhadap dirinya. Sabda Rasulullah saw,”…Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang pastilah aku perintahkan para istri untuk bersujud kepada para suaminya dikarenakan hak yang diberikan Allah kepada para suami itu terhadap para istrinya.” (Tafsir al Qur’an al Azhim juz II hal 294)

Setiap perbuatan keluar dari ketaatan kepada suami atau maksiat terhadapnya adalah termasuk nusyuz yang diharamkan didalam islam. Begitu juga jika kemarahan terlebih lagi penamparan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya dikarenakan dirinya maksiat terhadap perintah-perintah suaminya didalam kerangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka perbuatan ini pun termasuk nusyuz dan penzhaliman terhadapnya.

Didalam sebuah hadits Qudsi disebutkan,”Wahai hamba-Ku sesungguhnya aku mengharamkan kezhaliman terhadap diri-Ku dan Aku menjadikannya haram diantara kalian maka janganlah kalian saling menzhalimi.” (HR. Muslim)

Hendaklah si suami melakukan tiga hal berikut, sebagaimana arahan Allah swt didalam firman-Na diatas :

1. Menasehatinya agar menaatinya dan tidak maksiat terhadapnya. dan jika langkah ini tidak berhasil maka lakukan langkah kedua, yaitu :

2. Memisahkan tempat tidurnya sebagai pertanda ketidakredoannya terhadap perlakuan buruk istrinya itu. Jika ini pun tidak berhasil maka lakukan langkah ketiga, yaitu :

3. Memukulnya dengan pukulan tidak menyakitkan dan tidak di wajahnya.

Dan dibolehkan bagi suaminya untuk tidak memberikan nafkah kepada istrinya itu hingga dirinya meninggalkan perbuatan nusyuznya.

Akan tetapi jika memang penamparan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya dikarenakan adanya kezhaliman suami terhadap dirinya, seperti : tidak memberikan nafkah kepadanya atau tidak memperlakukannya dengan baik maka tidaklah termasuk nusyuz namun termasuk tindakan melampaui batas didalam menuntut hak-haknya dan hendaklah dirinya beristighfar dan berlindung kepada Allah swt dari tipu daya setan lalu meminta maaf kepada suaminya atas perbuatannya itu. Sementara si suami tetap diwajibkan atasnya untuk memenuhi hak-hak istrinya itu.
 

Friends

Blog List